Isak tangis bocah kecil kelahiran Yogyakarta itu masih terdengar pilu menyayat ditengah ramainya khalayak warga yang berdatangan melayat salah satu warga yang dipanggil sang Khaliq. Ya, beliau adalah ibu dari bocah kecil itu. Sesekali ia menyeka air mata yang membasahi wajah mungilnya.
Tak banyak yang ia ketahui saat itu. Kini hari-hari kecilnya hanya berteman adik dan bapak yang sangat ia sayangi. Hari-hari dimana anak kecil lainnya bermain dengan berbagai fasilitas dan kemewahan, sementara bocah itu? hanya hidup seadanya, secukupnya, tanpa berbalut kemewahan.
Bocah ini memang tak memiliki ibu, tapi ia memiliki wanita berhati malaikat yang juga menyayanginya. “mamak” begitulah mereka menyebutnya. Wanita itu memang bukan ibu yang melahirkannya, melainkan istri pertama dari sang bapak, namun karna sang Bapak tidak memiliki anak dari wanita tersebut, maka wanita itu mengikhlaskan suaminya untuk menikah kembali dengan wanita yang baru saja terenggut nyawanya, dengan 3 orang anak yang terlahir dari rahimnya yang suci, begitupula dengan bocah kecil ini.
Sejak sang Khaliq memanggil sang ibu, maka bocah kecil dan beberapa orang adiknya dirawat oleh sang “mamak” sebagai istri pertama sang bapak dan bisa dibilang ibu tiri. namun ia bukan sembarang ibu tiri yang sama dengan julukan yang sering kita baca dalam cerita “Bawang merah, bawang putih” . “mamak” merawat mereka dengan cintanya seolah mereka terlahir dari rahimnya. “mamak” menghangatkan dan memberikan warna dalam kehidupan baru mereka dengan kelembutan hati dan belaian cintanya, cinta seorang ibu.
“Pak, aku berangkat sekolah dulu” sapa gadis itu sembari menyalami bapaknya yang tengah bersiap untuk mulai bekerja di bengkel tua milik mereka yang terletak tak jauh dari rumah mereka. Bengkel ini cukup-cukup laris sehingga masih cukup untuk membiayai kebutuhan mereka sehari-hari termasuk menyekolahkan anak-anaknya. Pendidikan sebagai dasar pembelajaran, memang dianggap penting bagi keluarga ini. Apapun akan diupayakan sang Bapak demi memberikan kesempatan anak-anaknya mendapatkan ilmu yang dapat mereka bawa kemanapun dan sampai kapanpun.
Kasar telapak tangan sang bapak dengan urat yang menyembul menghiasi lengan tuanya masih terlihat kuat dan tetap terasa hangat dan lembut membelai setiap anaknya. Tak ada yang lebih membuatnya bahagia selain melihat anaknya berhasil, itulah yang selalu menghiasi hatinya.
***
Pagi yang cerah, dengan matahari yang menyinari belahan bumi kathulistiwa, juga menyapa Yogyakarta yang dikenal dengan kota pelajar ini. Hangatnya mentari seolah memanjakan bumi agar tetap tenang dan terjaga, seperti seorang ibu yang mendekap hangat bayi dalam gendongannya. Seperti biasa, gadis cantik ini mencium tangan bapaknya untuk segera berangkat bertarung dalam ruang-ruang kelas di sebuah sekolah milik pemerintah di kota itu.
Sang bapak pun melakukan rutinitasnya seperti biasa, menghabiskan waktunya di bengkel tua yang terletak persis di pinggir jalan raya tempat bis-bis antar kota berlalu lalang. Hari itu ntah mengapa urat-urat yang kekar menghiasi lengan itu seolah tak mampu melawan rasa sakit yang tiba-tiba ia rasakan sesaat setelah ia terjatuh di bengkel tuanya itu. Lirih, ia mencoba meminta pertolongan di sela kesakitan yang amat sangat ia rasakan. Orang-orang yang melihat kejadian itu hanya berlalu lalang tanpa mempedulikan ada jiwa yang merintih, menangis menahan rasa sakit. Begitu kejam negri ini, begitu kejam kota ini yang masih membedakan strata kekayaan dalam kesehariannya. Seorang yang mencoba menolongnyapun kemudian bergegas mencari bantuan, mencari celah hati nurani rakyat negri ini, tuk mendatangkan ambulance atau apapun untuk membawanya ke rumah sakit terdekat. Tapi seolah jiwa mati, seolah mereka menutup telinga-telinga mereka, dan mengunci rapat-rapat pintu hati dan memilih jalan dengan mata terpejam ketimbang menolong sesosok jiwa renta ditengah kesakitannya yang dapat diketahui jika ia tak memiliki banyak harta dengan kasat mata. Ia memang tak berharta banyak seperti pejabat negri ini, ia memang berpenampilan kumel dan jorok karna keringat yang bercampur oli, tapi ia masih bernyawa, dan ia memiliki hati yang bersih, tanpa noda meski banyak noda yang menggores tubuhnya.
Astaghfirullah…..
Tangis lirih jiwa renta itu terhenti saat sang Khaliq memilih untuk menyelamatkannya dengan mengangkat jiwanya tuk berada di sisi-Nya sembari menugaskan malaikat-malaikatnya mencatat setiap jiwa lain yang tak bernurani melihat-lantas meninggalkan dan tak mau peduli akan sakit yang ia rasakan karna ia tak memiliki biaya pengobatan.
Jiwa renta itu kini tak bergerak sedikitpun, senyumnya masih menghiasi wajahnya untuk kemudian terbungkus kain suci dan dihantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Air mata kini kembali membanjiri keluarga itu, bocah kecil yang dulu kehilangan ibunya, kini harus kehilangan bapak yang selalu berjuang untuk menyekolahkan dan membuatnya menjadi seorang gadis cantik yang juga berhati emas. Masih terekam jelas dalam ingatan gadis itu, bagaimana sang bapak selalu menyemangatinya untuk sekolah setinggi-tingginya. Sesekali ia menyeka air mata yang meleleh hangat di pipinya. “kini aku tak lagi memiliki bapak dan ibu” ucapnya lirih. Namun ia masih memiliki seorang ibu tiri, yang tak kalah baik dan juga mengasihinya tak ubahnya seorang ibu kandung.
Tak ada lagi yang melanjutkan usaha bengkel tua keluarga itu, lantas bagaimana mereka melewati hari-harinya? Subhanallah, mereka bukan orang-orang pemalas yang hanya mengharapkan rejeki akan turun dari langit. Mereka tetap hidup, mereka tetap bersekolah, meski kadang mereka harus mengalah dengan mengurangi jatah makan yang seharusnya menjadi energinya setiap hari.
Tangan renta dengan kulit yang tak lagi kencang, dengan sangat teliti memilah setiap sayuran di pasar, ya, sayuran, tapi bukan sayuran yang dijual di pasar, melainkan sayur-sayur yang telah di buang oleh para penjual setelah mereka memilahnya terlebih dahulu untuk di jual. Sayur-sayur yang telah di pilih itu, sayur-sayur yang telah dianggap tak layak oleh sebagian penjual itulah yang kembali di pilah oleh wanita tua itu. “Mamak” … ya, wanita tua yang biasa di sapa “mamak” ini tak pernah bosan dan menyerah untuk memilah sayur-sayur itu. Hasilnya akan ia jual kembali atau untuk santap di rumah bersama anak-anaknya.
Panasnya kota yogyakarta tak membuat wanita tua ini mengurungkan niatnya untuk berangkat ke pasar. ia selalu menghabiskan waktunya dengan memilah sisa sayur untuk menghidupi keluarganya dan menyekolahkan anak-anaknya. Hebat, ALLAH telah membuktikan, bahwa ia berhasil menghidupi dan menyekolahkan anaknya. Bahkan wanita tua ini mampu membelikan sebuah sepeda motor untuk anak gadisnya yang kini telah kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.Sepeda motor yang dibelinya dari uang yang selalu ia sisihkan sepulang dari memilah sisa sayuran di pasar.
***
ALLAH memang adil, ALLAH telah merubah nasib keluarga itu sesuai janjiNYA “ALLAH tidak akan merubah nasib suatu kaum, kecuali mereka yang mencoba untuk merubahnya”. dan keluarga itu tak pernah mengeluh dengan keadaan sebelumnya yang mereka lewati. Anak gadis itu kini telah bekerja dan memiliki penghasilan yang cukup untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Hingga akhirnya sang gadis dengan kulit sawo matang yang eksotis itu memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang sungguh diluar dugaan. Pria yang dinikahinya berdarah eropa, dengan rambut berwarna pirang, kulit yang putih, bola mata yang indah dan perawakan yang tak lazim ditemui di kota ini pada umumnya.
Pernikahan itu dilaksanakan, janji setia itu diucapkan, tanpa melihat siapa gadis itu, apakah mamak nya pemilah sayur sisa di pasar, apakah ia memiliki harta yang melimpah, tidak sama sekali. Pria tampan itu mempersunting gadis sederhana itu untuk memenangkan hatinya, hati yang berlapis emas dan seluas samudra, berbalut cinta dan kesederhanaan yang selalu ditanamkan oleh orang tuanya sejak ia masih kecil.
Mata gadis itu masih liar seolah mencari sesuatu yang tak dapat ia tangkap disekelilingnya. Ia mencari sosok sang mamak, ibu tiri yang melebihi ibu kandungnya, yang telah membesarkan, menyekolahkan, dan membelikannya motor dari hasil rutinitasnya di salah satu pasar di kota yang terkenal dengan gudeg ini. Ia menanyakan keberadaan sang mamak kepada semua sanak saudara yang hadir saat itu. Ternyata, wanita tua itu, tak diizinkan mengikuti jalannya siraman, oleh beberapa keluarga sang gadis yang selalu iri terhadapnya. “Mamakmu tak kon bali, tak kon ganti klambi, ora pantes je”” ucap salah satu sanak keluarganya sambil melintas. Mamak ku ga hadir, di salah satu acara tradisi jawa dimana seharusnya orang tua hadir di acara itu “siraman” ya, itulah tradisi itu, acara dimana setiap yang dituakan akan menyirami air seolah memandikan anak gadisnya sebelum dinikahi oleh seorang pria, yang menunjukkan keikhlasan dan keridoan mereka terhadap calon pengantin yang akan menikah, begitulah kurang lebih makna dari tradisi ini. Tersayat perih seakan luka ini tersiram cuka mendengarnya dan menyadari mamak yang selalu bersamanya tak diperbolehkan hadir melihat hari istimewanya hanya karna tak berpakaian cantik seperti tetamu yang hadir dengan solek dan kilau baju meriah. Lagi-lagi strata masih diperdebatkan di negri kathulistiwa ini.
Cantik molek pakaian pengantin jawa, dan riasan yang masih menghiasi pengantin itu, ikut pula dilihat sejumlah penumpang bis lainnya, saat mereka meninggalkan gedung acara. Mereka bahkan tak melewatinya seperti pengantin lainnya dengan mobil mewah membawa pengantin ke rumah baru mereka. tapi pasangan ini malah pulang dengan menggunakan bis umum. Tak disangka uang yang di berikan untuk mengelola pesta ini pun masih harus diambil sebagian, sepertinya istilah korupsi maupun uang lelah masih mendarah daging di setiap jiwa anak negri ini.
“sudalah, tak usah dipermasalahkan yang sudah lewat” pikir gadis yang baru saja menjadi Nyonya seorang pria tampan asal Amerika ini dalam hatinya.
***
Sepasang pengantin baru ini memilih untuk tinggal di luar dari kota Yogyakarta, bahkan tidak di dalam wilayah Indonesia ataupun Amerika tempat sang suami berasal. Mereka memilih untuk tinggal di salah satu negri di wilayah asia yang terkenal dengan ginseng sebagai salah satu devisanya.
Kehidupannya berubah, tak lagi kekurangan, tak lagi harus makan senin-kamis (kadang makan , kadang nggak), bahkan ia mampu membenahi rumah peninggalan sang ayah dulu di kota gudeg, dan juga mengirimi hasil kerjanya sebagai seorang pengajar untuk kehidupan adik dan mamak tercintanya yang telah membuatnya berhasil seperti sekarang.
Kehidupan telah berganti, namun sang “mamak” tetap kembali dan menghabiskan waktunya untuk memilah sisa sayuran di pasar, meski tabungan yang dimilikinya bahkan lebih untuk kehidupan sehari-harinya. Seharusnya ia tak lagi kembali ke pasar, nikmati hari tuanya di rumah. namun ia memilih melaksanakan rutinitasnya di pasar, walau sesekali ia tertidur di emperan pasar karna kelelahan.
Ia bahkan tak pernah sombong, ia tak melupakan atau malah meninggalkan kegiatan pasarnya, meski ia telah hidup berkecukupan, ia bahkan tak menyentuh uang pemberian sang anak, biar tetap utuh di tabungan pikirnya, dan tetap hidup dengan hasil yang diperolehnya dari memungut sisa sayur di pasar tua kota yogyakarta. “dia mamak ku, dialah yang membesarkanku, dan mengajariku banyak hal hingga aku berhasil seperti sekarang ini” ucapn gadis itu mengenang sang mamak. Tampak sedikit penyeselan pada rautnya, menyesal karena pernah menelantarkan sang mamak yang telah berjuang untuknya, menelantarkan seolah tak peduli, saat ia masih sekolah dulu, membiarkannya pulang sendiri setelah seharian di pasar, meski gadis itu teah memiliki motor dari hasil keringat sang mamak. Gadis itu lebih memilih untuk bermain dengan temannya, tanpa peduli seorang wanita tengah berjuang untuknya. Semua telah berlalu, kehidupan dan kedewasaan telah menempanya menjadi wanita yang lebih bijaksana dan menyadari perjuangan wanita tua itu untuknya.
***
Ternyata masih ada jiwa-jiwa suci yang masih bernurani dan memiliki hati putih bersih berlapis emas. Percayalah wahai anak – cucu Adam, stiap tetes keringat dan air mata yang kau keluarkan saat kau berjuang, akan mengantarkanmu pada suatu kesuksesan, karna setiap orang berhak untuk bahagia dan tersenyum.
(Based on true story-dedicated for my beloved sizt)
terimakasih atas cerita dan pengalaman berharga ini…
Mrs. Randolph Thanks to:
Dan mungkin inti judulnya, aku hidup dan tumbuh seperti ini karena banyak bantuan Mamak (pemilah sayur), saudara saudara pihak Bapak, dan teman2 serta sahabat terkasih semuanya dari sejak aku kecil (Ferani Dewi), SMP, Kuliah PPKP and Proklamasi (masa2 bersama Mamak), Teman2 sahabat terkasih di Korea, IdeaWeta Consulting Team (pembuka ide pikiran masa depan), Prawirotaman Trading (masa2 bertemu Tom), Kartika Dewi Aerobic Instructor School (masa2 bersama Tom randolph).